Teknologi Machine Learning untuk Pemulihan Ekonomi Setelah Pandemi

Bandung, Humas BRIN. Dalam menghadapi era revolusi Industri 4.O, penggunaan data  seperti Machine learning, Artificial Intellegence  menjadi hal yang penting untuk penggunaan mendukung pekerjaan yang effisien di industri  yang berbasis digital, hal ini  dapat menjadi  suatu potensi untuk membantu dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Mendiskusikan hal tersebut Pusat Riset Sains Data dan Infomasi – BRIN  menyelenggarakan webinar dengan topik  “Teknologi Machine Learning untuk Pemulihan Ekonomi Pasca-Pandemi COVID-19.

Webinar kali ini menghadirkan dua narasumber yaitu Rezzy Eko Caraka Rezzy Eko Caraka, M.Sc (RES)., Ph.D dan Vicky Zilvan., M.T . Keduanya peneliti kelompok riset Machine Learning Pusat Riset Sains Data dan Informasi, via zoom pada Rabu, 8 Juni 2022.  Dalam sambutannya, Dr.Esa Prakasa  Kepala Pusat Riset Sains Data dan  informasi – BRIN menyampaikan   bahwa tujuan di selenggarakannya  acara webinar ini adalah merupakan sarana untuk memberikan ruang bagi para peneliti/ periset untuk mendesiminasikan hasil-hasil risetnya  yang ada di Pusat Riset Sains Data dan Informasi-BRIN. Ia berharap webinar ini memunculkan peluang- peluang kerjasama baik antar civitas BRIN atau civitas di luar BRIN yang lain dan juga dpat memunculkan ide-ide baru yang nantinya dapat mempertajam hasil risetnya serta mempercepat implementasi dalam mengatasi berbagai permasalahan nyata di kehidupan sehari-hari.

Rezzy memaparkan materi mengenai kerentanan dan pengklasifikasian masalah utama yang dihadapi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) selama masa pandemi COVID-19. Selama pandemi COVID-19, UMKM perlu beradaptasi dalam mempertahankan bisnisnya di era post-digital economy, dimana segala macam transaksi sudah terintegrasi secara modern dan termudahkan dengan adanya teknologi. Namun kurangnya pemerataan fasilitas untuk mengakses teknologi, kualitas internet, dan literasi digital dalam pemanfaatan teknologi menjadi permasalahan utama pada rentannya keberlanjutan bisnis UMKM di Indonesia.

Dalam analisis penelitian indeks kerentanan bisnis UMKM, Rezzy mengumpulkan data yang terdapat di BPS yaitu meliputi data SUSENAS, dan SAKERNAS, juga ditambahkan dengan data primer yaitu survei langsung ke lapangan, diantaranya mengunjungi kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Papua, Jawa Tengah, Bali, dan Lombok. Ia mengaplikasikan NASPACLUST, yaitu optimasi algoritma yang menggabungkan analisis text mining dan data mining yang efektif dalam mengatasi inkonsistensi pengklasteran data seperti ketika menggunakan pendekatan secara tradisional. Sehingga dengan menggunakan optimasi algoritma ini, pengklasteran data memiliki kualitas yang lebih presisi akurasinya. “Optimasi algoritma ini diharapkan dapat menjadi dataset dalam mengklasifikasikan permasalahan kerentanan bisnis UMKM pada 503 kabupaten dan kota di Indonesia dan dapat menjadi kunci dalam menangani permasalahan-permasalahan tersebut,” terangnya.

Menurut Rezzy, perlu adanya kesadaran bahwa setiap daerah punya masalah uniknya masing-masing sehingga dalam hal penanganan masalah, perlu spesifik dan akurat pada tiap daerahnya. Maka penyelesaian masalah tidak bisa disamaratakan dengan memberikan satu kebijakan untuk semua daerah. “Masyarakat, akademisi, stakeholder, dan pemerintah perlu bekerja sama lebih sering lagi dalam menciptakan lingkungan komunitas yang berkelanjutan di era post-digital economy,” jelasnya.

Pemaparan selanjutnya dijelaskan oleh Vicky Zilvan yang membahas mengenai variasi autoencoder dalam mengidentifikasi perbedaan klon teh. Di Indonesia, pemuliaan tanaman teh dilakukan dengan mengambangkan varietas klon untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas tes. Salah satunya adalah pengembangan beberapa klon unggul teh seri Gambung di Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK). Namun dalam pengembangannya di perkebunan, sangat mungkin berbagai klon teh mengalami pembibitan silang atau penanaman yang tidak disengaja oleh petani yang berakibat kualitas teh menjadi tidak konsisten dan pengenalan satu seri dengan seri lainnya sulit dibedakan. “Inspeksi hanya dilakukan oleh ahli dengan jumlah terbatas dengan pemeriksaan manual yang memakan waktu, biaya yang tinggi, dan rentan terhadap resiko kesalahan,” ungkapnya. Tantangan ini membutuhkan sistem pengenalan klon yang otomatis dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut.

Pengenalan objek biasanya menggunakan supervised learning yang membuat data perlu dianotasi. Cara lain yang dapat digunakan adalah unsupervised learning yang kinerjanya dapat menurun ketika variabilitas data cukup tinggi. Kemudian variational autoencoder (VAE) diusulkan untuk mengidentifikasi klon teh yang kuat terhadap gambar yang terdistorsi. Untuk menguji VAE dilakukan experimen untuk data latih menggunakan gambar asli dan gambar dalam tiga kondisi (kondisi asli, kondisi gaussian blur, dan median blur). “Hasil eksperimen mengkonfirmasi bahwa convolutional variational autoencoder based feature lebih efektif dan lebih baik dalam pengenalan klon the,” tegasnya. (ER/ATS ed: AS)