Komputasi untuk Ilmu Kesehatan

Cibinong, Humas BRIN.Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Komputasi, Organisasi Riset (OR) Elektronika dan Informatika menghelat kegiatan Kolokium II dengan tema “Komputasi untuk Ilmu Kesehatan”, pada Kamis (19/5).

“Pada riset kali ini kami menggunakan model vektri karena cukup baik untuk domain regional. Untuk vektrinya sendiri meniru siklus hidup nyamuk, telur, larva, pupa dan  sampai nyamuk dewasa. Untuk fase larva dipengaruhi curah hujan karena jentik perlu air untuk tumbuh kembangnya,” terang pembicara pertama, Dr. Inna Syafarina. M.Si. dari Pusat Riset Komputasi memaparkan materi berjudul “Model dan Proyeksi Penyebaran Malaria di Afrika.”

“Dari larva berkembang menjadi nyamuk dewasa dan di dewasa terdapat dua fase yang menghasilkan telur yang disebut gonorophic cycle atau perkembangan sel telur, untuk sporagonic cycle adalah perkembangan parasite dalam tubuh nyamuk. Kemudian nyamuk menggigit manusia (host), dari manusia menular ke manusia lain melalui gigitan nyamuk,” sambungnya.

Dirinya menerangkan bahwa Malaria Indicator Number terdiri dari  Human Bite Rate (HBR). Salah satu metodenya adalah penangkapan nyamuk yang menempel di tubuh, didefinisikan rata-rata gigitan perorang di setiap malam, Circumsporozoite Protein Ratio (CSPR) yaitu ada atau tidaknya parasite dalam tubuh nyamuk, dan Entomological Inoculation Rate adalah angka hasil perkalian dari HBR dengan CSPR

Inna menambahkan, adanya ketidak pastian hitungan karena adanya perubahan periode pengumpulan waktunya misalnya di Kenya bulan Januari 2014 – Desember 2014, namun ditempat lain periodenya berbeda. Pengumpulan nyamuknya juga bisa berbeda-beda, jumlah sampling area juga berbeda dan jenis nyamuknya juga berbeda.

“Domain data set yang digunakan dalam penelitian ini di Afrika karena jumlah kasus secara global yang paling besar di sana. Untuk validasi data digunakan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Untuk forcing data ada Precipitation, Temperature, Topography, Population density, dan Water fraction,” jelas Inna

“Untuk Projection, CMIP6 (precipitation and temperature) dan SEDAC (Population density). Sedangkan untuk Experimantal Design dibagi 4 peride, Hitorikal peride pertama 1983-2006, kedua 2013-2018, ketiga 2013-2018, dan proyek (2020 –2100). Dengan validasi di Afrika 1986 – 2006,” rinci Inna.

“Historical pertama menggunakan tuning parameter terhadap EIR, dari historical dua dan tiga kami menggunakan tuning parameter juga terhadap water fraction. Dri ketiganya dibutuhkan interpolasi dan scaling factor,”ungkapnya lagi.

“Dari kesimpulan penelitian yang dilakukan, di Afrika Barat, suhu memainkan peran utama dalam mengurangi laju inokulasi entomologi (EIR); di Afrika selatan tengah, hari-hari basah berturut-turut adalah faktor yang paling berpengaruh. Kami menggunakan parameter laju pertumbuhan kolam yang dioptimalkan untuk memprediksi laju penularan malaria di masa depan, dengan mempertimbangkan efek curah hujan dan suhu,” kata Inna.

Sedangkan pemateri kedua yang masih berasal dari PR Komputasi, yakni  Maulida Mazaya, Ph.D. menjelaskan tentangOverlaping Fields. “Selama ini kita telah mengenal bioinformatika yaitu irisan antara informatika dengan biologi. Di dalamnya terdapat Computational Biology dan juga System Biology. Selain itu ada juga Sintetik Biologi. Tetapi hari ini saya hanya membahas Computational Biology dan  System Biology,” terangnya dengan materi berjudul “Computational Systems and Network Biologymethods and Its Applications.”

“Perbedaan Computational Biology dengan Bioinformatics adalah Bioinformatic cenderung ke development method untuk analisis biological data yang besar. Kalau Computational Biology lebih cenderung ke penggunaannya, penggunaan komputasi atau modelling analisis untuk implementasi masalah-masalah di biologi dan sistem biologi. Sedangkan sistem biologi lebih berfokus ke studi molekuler dan celluler system,” ujar Maulida

“Bioinformatika merupakan studi tentang biodata yang besar , statistik biologis, dan hasil studi ilmiah. Sedangkan Biologi komputasi adalah penerapan solusi berbasis data untuk masalah dalam bioinformatika,” ucapnya.

Maulida menjelaskan bahwa Systems Biology dan Network Biology saling berhubungan. Biologi sistem adalah pemodelan matematika dan analisis kumpulan besar biodata, fokus pada sistem biologis dan interaksinya. Dan biologi jaringan merupakan struktur biologis, disebut model grafis, dan aliran fungsional informasi melalui struktur ini

 Untuk Computational Biology dimulai dari eksperimen data atau data base yang sudah ada. Dari sini kita melakukan identifikasi sistem, dicek secara manual dan pemrogaman, kemudian di-mapping conseptual atau graphical framework menggunakan formula matematika yang disimulasikan,” terangnya.

Maulida mengatakan, hasil simulasi dikomputasikan dan divalidasi kembali dengan menggunakan hasil eksperimental. Sedangkan untuk metodologinya, mirip dengan yang tadi hanya saja lebih jelas, dari klinikal data kita cek klinikal atau eksperimental data. Setelah itu langsung bisa dipakai, kalau belum dimap dulu dan secara komputasi dicek secara sistem dan untuk biologinya kita lakukan pemodelan simulasi dan analisis.

“Outputnya kita dapatkan yaitu Biologycal System Behaviour, yaitu karakteristik system biologi orgnisme sel/jaringan, Disease characteristics dan Drug therapy,” kata Maulida.

“Dataset bisa kita akses gratis dan bisa diolah. Contohnya KEGG, dataset untuk pathway, tidak hanya kanker. Human dan bakteri biasanya menggunakan ini. Untuk kanker genom menggunakan TCGA, protein menggunakan STRING, untuk Anastasi menggunakan DAVID, drug menggunakan DRUG BANK,” terang Maulida.

“Database dan Modeling Platform yang sering digunakan untuk komputasional biologi ada 4, yaitu, Pathway Database, Model Database, System Biology Standard dan Simulation dan Modeling System.” Katanya.

“Framework yang umum digunakan adalah Cytoscape, base on desktop, dan free instalasinya. Tetapi beberapa plagin menyarankan memerlukan requirement tambahan seperti harus menggunakan GPU atau jenis komputer tertentu. Sedangkan untuk Cell Collective, bisa login dulu dan dapat mengakses Biological Network dan menganalisis melalui webbase ini,”ucapnya.

“Ada 3 alasan kenapa kita harus belajar Computational Biology dan Network Biology. Pertama, sistem biologi itu pada dasarnya sudah digital. Karena kehidupan berbasis DNA sudah memproses informasi yang dikodekan pada huruf ACGT. Kedua, meningkatkan kemampuan pengolahan data sehingga optimasi data dapat diselesaikan dengan teknik komputasi dan yang ketiga adalah running time and memory. Ini sangat penting karena computasi system dan network biology bisa memangkas waktu penelitian untuk dataset yang besar dan juga waktu eksperimen. Selain itu bisa digunakan untuk mensimulasi fenomena-fenomena biologi seperti apa dan pada akhirnya bisa memprediksi hasil eksperimen,” pungkasnya.

Sebagai informasi, Kolokium juga menghadirkan Ali Iksanul Qauli, S.Si., M.Eng. (KIT , GUMI – Korea Selatan dan TRKB, FTNM, UNAIR-Indonesia) dengan materi “Metodologi Penilaian in Silico untuk Memprediksi Risiko TdP Obat.” (ew/ ed. sl).